9/16/2025

Era baru asesmen: Menggabungkan tes, tugas kinerja, dan portofolio untuk deeper learning

Hi all, so dalam pembahasan kali ini, kita akan menggunakan artikelnya Conley (2015) yang berjudul "A new era for educational assessment". Artikel ini mendorong kita untuk menggunakan asesmen era baru untuk mendorong perkembangan siswa terutama dalam kesiapan siswa dalam menghadapi kesiapan kuliah atau karier/kerja. 

Awalnya asesmen siswa bergantung pada tes pilihan ganda namun mulai beralih ke sistem asesmen yang multi-ukuran yang bertujuan untuk menilai pembelajaran secara bermakna dan tetap memenuhi kebutuhan akuntabilitas sistem. Conley (2015) menekankan bahwa standar seperti common core tidak lagi terukur jika hanya dengan tes on-demand saja, diperlukan kombinasi untuk menilai penguasaan dan keterampilan secara keseluruhan.

Postingan kali ini akan mengeksplorasi temuan David Conley tentang evolusi asesmen pendidikan. Dari pembahasan ini, kita akan memahami perubahan dan pengaruh yang membentuk praktik asesmen pendidikan, asesmen multi-ukuran, dan mengidentifikasi berbagai pendekatan asesmen. 

Perubahan asesmen ke arah asesmen muti-ukuran

Berdasarkan overview awal, fokus pertanyaan kita adalah "Mengapa asesmen perlu berubah?". Mari kita bahas secara komprehensif jawaban dari pertanyaan ini. Ada beberapa hal yang menjadikan asesmen perlu diubah ke arah multi ukuran. Pertama, kelemahan pada tes tradisional, sistem asesmen yang masih menggunakan tes tradisional yang hanya fokus pada reliabilitas (kemampuan untuk mengukur hal yang sama secara konsisten) daripada validitas (kemampuan untuk mengukur hal yang tepat) sehingga tes tradisional hanya mengukur potongan pengetahuan/keterampilan secara terpisah bukan pemahaman konseptual dan penerapan konteks nyata. Kedua, adanya kepenatan publik, guru dan orang tua sudah penat dengan praktik tes tradisional karena hasilnya belum tentu mencerminkan peningkatan pembelajaran siswa. Ketiga, evidensi baru, hasil riset menunjukkan bahwa kesiapan kuliah/karier menuntut tidak hanya berfokus pada asesmen yang mengukur literasi-numerasi saja, namun menuntut asesmen yang mencangkup keterampilan belajar, strategi kognitif, dan penerapan lintas disiplin.

Dalam artikelnya, Conley (2015) merumuskan empat kunci utama yang dapat diajarkan, dipelajari, dan dinilai untuk kesiapan siswa terutama untuk kesiapan kuliah atau karier. Keempat kunci ini adalah kerangka yang merumuskan apa saja yang dibutuhkan oleh siswa.


1. Key cognitive strategies, merupakan keterampilan berpikir untuk belajar dan memahami lebih dalam dan mampu menghubungkan konsep lintas mata pelajaran. Contohnya, mampu merumuskan masalah dan merencanakan solusinya.

2. Key content knowledge, merupakan ide dan konsep pengorganisasi suatu disiplin serta sikap positif terhadap belajar (fokus pada konten). Maksudnya adalah mengerti konsep inti dari pembelajaran. Contohnya, dalam matematika, mengerti fungsi dan pertumbuhan eksponensial.

3. Key learning skills and techniques, adalah kepemilikan belajar atau kebiasaan yang mendorong siswa untuk mandiri dan tangguh, serta memiliki strategi belajar praktis. Siswa perlu memiliki motivasi, tujuan, regulasi diri, metakognisi, dan persistensi. Selain itu, siswa juga perlu memiliki teknik belajar sendiri seperti catatan, menggunakan teknologi, dan strategi belajar.

4. Key transition knowledge and skills, adalah pengetahuan dan kemampuan untuk bertransisi ke perguruan tinggi atau bekerja. Pengetahuan dan kemampuan tersebut mencangkup aspirasi, pemilihan kampus, aplikasi dan sumber daya, dan kemampuan advokasi diri. Contohnya, mampu merumuskan aspirasi pendidikan atau karier dan menemukan kecocokan program yang akan dipilih.

Key point: Untuk mendorong perkembangan siswa dan kesiapan siswa ke jenjang perkuliahan atau siap untuk bekerja, fokusnya jangan hanya pada nilai dan hafalan konten, tetapi termasuk cara berpikir, kebiasaan belajar, dan keterampilan transisi ke pendidikan tinggi atau dunia kerja. Intinya, keempat kunci ini membentuk kerangka yang saling melengkapi, dimana konten memberikan bahan belajar, strategi kognitif mendorong siswa untuk berpikir secara mendalam, keterampilan belajar menjaga prosesnya agar efektif, dan pengetahuan transisi memastikan siswa yakin dengan pilihannya dan mampu bertahan di lingkungan kampus atau dunia kerja.

Pendekatan-pendekatan dalam asesmen

Conley (2015) memberikan kotinum pendekatan asesmen yang dapat digunakan. Ia juga menyarankan untuk menggunakan sistem yang menggabungkan beberapa pendekatan asesmen. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah:

1. Tes pilihan ganda tradisional. Tes ini reliabel dan saat ini sudah ada versi yang adaptif dengan menggunakan komputer untuk hasil yang lebih efisien dan presisi, namun tetap terdapat keterbatasan karna hanya berupa butiran soal.

2. Tes common core. Tes ini dilakukan untuk mengukur apakah siswa dapat mencapai standar yang ditetapkan. Namun, tes ini hanya mengukur standar di level tertentu saja sebab standar saat ini sudah menuntut siswa memiliki kemampuan sintesis, riset, pemodelan, dan kolaborasi.

3. Tugas kinerja (performance tasks). Tugas-tugas yang berupa aktivitas beberapa jam atau minggu untuk menyelesaikannya.

4. Project-centered assessment. Ini merupakan proyek jangka panjang siswa dengan menghasilkan produk atau presentasi.

5. Collections of evidence (portofolio). Ini merupakan kumpulan bukti (karya/kegiatan/keterampilan) yang dilakukan oleh siswa.

Key point: Dari artikel Conley ini, ia mengarahkan agar asesmen dapat seperti "diagnostik medis" sehingga asesmen dilakukan secara menyeluruh, memberikan informasi kaya tentang penyebab dan solusi perbaikan, tidak hanya mengumpulkan gejala tetapi disertakan dengan dukungan yang tepat.

Referensi

Conley, D. (2015). A new era for educational assessment. Education Policy Analysis Archives, 23(8), 1-41. http://dx.doi.org/10.14507/epaa.v23.1983

9/08/2025

Identitas pendidik guru: Gambaran Umum

Kali ini kita akan membahas tentang bagaimana gambaran umum identitas pendidik guru. Sebagaimana yang kita tahu, pendidik guru merupakan dosen yang mengajar calon-calon guru di perguruan tinggi. Dalam pembahasan kali ini, kita akan menggunakan empat artikel yang berkaitan dengan identitas guru seperti buku Pinnegar dan Hamilton (2015) chapter 1 yang membahas tentang "definition of identity", artikel Izadinia (2014) yang membahas tentang "teacher educators’ identity", Dinkelman (2011) tentang "Forming a teacher educator identity", dan Swennen et al. (2010) tentang "teacher educators". Kita akan mengulas keempat paper tersebut berdasarkan dari fokus, teori/konsep yang digunakan, temuan, serta kita akan melakukan sintesis untuk mencari benang merah dari keterkaitan artikel-artikel tersebut.

Key concepts

Buku Pinnegar dan Hamilton (2015) berfokus dengan membangun kerangka konseptual identitas pendidik guru. Mereka menyebut kerangka ini sebagai proses dari "being and becoming". Artinya bahwa identitas pendidik guru muncul diantara tindakan dan selalu berubah-ubah yang didasarkan dari agensi individu dalam konteks sosial budaya. Kerangka yang mereka bangun ini menggunakan beberapa teori seperti; 1) Erikson’s theory tentang biopsychosocial bahwa identitas berkembang sepanjang hayat dan asalnya dari faktor biologis, psikologis, dan sosial; 2) Narrative teory, bahwa identitas muncul dalam cerita yang diceritakan sehingga membentuk proses living-telling-retelling-reliving sebagai bentuk "being" yang kemudian mengarah pada "becoming"; 3) Positioning theory, bahwa identitas hadir saat kita memposisikan diri atau pun orang lain melalui perkataan atau tindakan. 

Key point: agensi individu merupakan kapasitas individu dalam mengartikan sesuatu, menarasikan ulang diri, dan bertindak sesuai yang diinginkan, atau bahasa lainnya adalah kemampuan kita dalam menentukan pilihan secara sadar.

Pinnegar dan Hamilton (2015) menyoroti beberapa temuan utama dalam bukunya, sebagai berikut:

1. Identitas pendidik guru selalu berubah melalui tindakan, refleksi, dan relasi. Pengalaman masa lalu dapat direinterpretasi dan ditransformasi ke masa kini atau masa depan

2. Ketegangan pada fase hidup yang berbeda diantara pendidik beririsan dengan kebutuhan kerja sehingga hal ini berdampak pada kemampuan dalam membangun relasi pedagogis yang kolaboratif

3. Teori narrative dan positioning membantu dalam memperlihatkan pola yang tidak terlihat dalam tindakan sehari-hari. Pola-pola ini dapat membantu dalam praktik namun jika ternyata tidak sesuai maka ini memicu untuk berpikir dan bertindak ulang, hal ini menyebabkan terbentuknya transformasi.

Explanation: jika masih ada yang bingung pada poin ke-3, contohnya seperti ini, ada seorang dosen yang mengajar calon guru menggunakan panduan/skrip. Panduan ini membuat aturan umpan balik, namun saat dosen tersebut mendapati mahasiswa yang membutuhkan dukungan emosional, ternyata panduan itu tidak sesuai. Berdasarkan hal ini, dosen tersebut melakukan refleksi dan memposisikan ulang dirinya bukan hanya sebagai pengajar namun sebagai pembimbing/mentor sehingga ia membuat panduan baru dengan menyisipkan umpan balik yang lebih humanis dan dialogis. Dari sini kita paham bahwa praktik awalnya telah berubah kan ya, nah ini lah transformasi yang dimaksudkan.

Dalam artikelnya Swennen et al (2010), mereka berfokus pada pembahasan yang mengulas tentang "siapa pendidik guru", mereka juga mengidentifikasi sub-identitas utama dan bagaimana implikasinya bagi pengembangan profesional pendidik guru menggunakan berbagai teori dan konsep, terutama dari studinya Holland. 

Dari studi ini, Swennen et al (2010) menemukan bahwa terdapat empat sub-identitas pendidik guru yakni:

1. Pendidik guru sebagai guru sekolah. Dalam konteks Amerika, awalnya pendidik guru berasal dari guru sekolah. Hal ini dikarenakan saat rekruitmen, diperlukan pengalaman mengajar sehingga yang memenuhi persyaratan ini adalah guru sekolah.

2. Pendidik guru sebagai dosen di perguruan tinggi. Dalam prosesnya, fase induksi sering dilakukan sebagai pembelajaran berbasis kerja, biasanya didampingi mentor senior.

3. Pendidik guru sebagai guru para guru (second order teacher). Masih dalam konteks Amerika, ada transisi pendidik guru yang awalnya first order teacher (guru yang megajar siswa di sekolah) menjadi second order teacher (guru yang mengajar mahasiswa di perguruan tinggi). Oleh karena itu, pendidik guru ini memerlukan redefinisi identitas agar menghindari kegagalan transisi.

4. Pendidik guru sebagai peneliti. Untuk penguatan identitas peneliti, terdapat tiga jalur yakni belajar dengan melakukan riset (biasanya ada bimbingan dari kolega senior), melanjutkan pendidikan doktoral, dan kebijakan institusi atau nasional yang mendorong untuk melakukan riset.

Izadinia (2014), dalam artikelnya mengulas tentang berbagai studi tentang identitas pendidik. Temuan studinya meliputi:

1. Tantangan saat fase induksi

Tantangan ini diantaranya kekurangan dukungan dan keterampilan dalam melakukan riset sehingga menyebabkan kesulitan untuk membangun identitas sebagai peneliti, kurangnya pemahaman dalam pedagogi perguruan tinggi (seperti asesmen, perkuliahan) yang berujung munculnya keraguan diri, minimnya pengetahuan tentang manajemen organisasi, adanya faktor yang menyebabkan stress (beban ajar tinggi, tuntutan melakukan riset), dan kesulitan membangun koneksi profesional baik dengan kolega atau mahasiswa.

2. Terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan identitas pendidik guru. Pertama, self-support, ini dapat dilakukan dengan belajar dari supervisi harian, refleksi diri, trial-error, dan self-study. Kedua, community-support, ini dapat dilakukan melalui communities of practice, team teaching, dan interaksi sosial. Ketiga, latar belakang bawaan, ini seperti kepercayaan, pengalaman, dan role model.

3. Induksi yang berkualitas perlu memperhatikan hal-hal seperti, harus berfungsi sebagai learning community, sebagai relasi yang suportif dan kolaboratif, ada aktivitas reflektif, dan pentingnya keterlibatan dalam riset.

Dinkelman (2011) melalui artikelnya memaparkan studi ilustratifnya yang berfokus pada bagaimana identitas pendidik guru dibentuk dari konteks institusional, standar, praktik, dan relasi. Kajian ini menggunakan model identitas Gee yakni nature (identitas berdasarkan sifat), institutional (identitas berdasarkan posisi yang dipegang), discursive (identitas berdasarkan apa yang telah dilakukan dan dalam dialog dengan orang lain), dan affinity (identitas berdasarkan kesetiaan pada praktik dan perspektif afiliasi kelompok). 

Dinkelman (2011) dalam studinya menemukan bahwa:

1. Audit culture (akreditasi, data kinerja) dapat mengaburkan dan mengikis makna utama yang ada di praktik. Ini dikarenakan asesmen seringnya hanya menghitung kehadiran bukan membuka ruang dialog.

2. Standar yang paling penting diperhatikan adalah pada praktik sehari-hari, sebab identitas sering terbentuk dalam ruang praktik bukan dalam dokumen standar

3. Identitas dapat tumbuh melalui agensi (kemampuan membentuk identitas dengan pilihan sadar, kolaborasi, dan tindakan resistif-kreatif) dan relasi

Key point: Temuan Dinkelman (2011) ini menginformasikan kita bahwa identitas pendidik guru itu dapat tumbuh melalui agensi dan relasi, dan standar yang difokuskan itu seharusnya dari praktik sehari-hari bukan malah fokus di dokumen dan tabel akreditasi.

Sintesis

Berdasarkan pembahasan terhadap keempat artikel, para penulis setuju bahwa identitas pendidik guru bukan status yang tetap tetapi merupakan proses sosial yang dapat diubah melalui tindakan, refleksi, relasi, terutama agensi individu sebagai faktor utama (Pinnegar & Hamilton, 2015; Izadinia, 2014; Dinkelman, 2011; Swennen et al., 2010). 

Pada struktur identitas pendidik guru, Swennen et al (2010) telah menjelaskan bahwa terdapat empat sub-identitas pendidik guru (sebagai guru sekolah, pengajar di perguruan tinggi, guru dari guru, dan peneliti). Dalam konteksnya, keempat identitas ini perlu diseimbangkan dan ditransformasikan. Sebagaimana hal ini melengkapi kerangka being and becoming dan teori narrative serta positioning sebagai sistem pembentuknya (Pinnegar & Hamilton, 2015).

Dalam pembentukan identitas, penting untuk memperhatikan fase induksi karena fase ini menjadi titik rawan karena didalamnya ada ketegangan yang dapat memicu self-doubt (Izadinia, 2014). Untuk menjaga fase ini berjalan efektif, Pinnegar & Hamilton (2015) dan Dinkelman (2011) merekomendasikan untuk melaksanakan learning communities, refleksi, relasi suportif, dan self-study sebagai upaya menghubungkan mengajar dan meneliti.

Referensi

Dinkelman, T. (2011). Forming a teacher educator identity: Uncertain standards, practice and relationships. Journal of Education for Teaching, 37(3), 309-323.

Izadinia, M. (2014). Teacher educators’ identity: A review of literature. European Journal of Teacher Education, 37(4), 426-441.

Pinnegar, S. E., & Hamilton, M. L. (Eds.). (2015). Identity. In Knowing, becoming, doing as teacher educators: Identity, intimate scholarship, inquiry. Emerald Group Publishing.

Swennen, A., Jones, K., & Volman, M. (2010). Teacher educators: their identities, sub-identities and implications for professional development. Professional Development in Education, 36(1-2), 131-148.


9/06/2025

Asesmen dalam pembelajaran: Peran, prinsip, dan siapa saja yang terlibat

Jika ada pertanyaan "untuk apa asesmen digunakan dalam pembelajaran?", mungkin diantara kita secara singkat akan menjawab "untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa", atau mungkin ada jawaban lain boleh ditulis di kolom komentar ya. Pertanyaan ini lah yang akan menjadi fokus pembahasan kita di postingan kali ini. Pada pembahasan kali ini, kita akan menggunakan bukunya Murchan dan Shiel (2017, pp. 1-12) yang membahas tentang asesmen dalam pendidikan. Beberapa hal yang akan dibahas yaitu:
1. Peran asesmen dalam pembelajaran
2. Prinsip-prinsip dalam asesmen
3. Pemangku kepentingan dalam asesmen
Dalam bukunya, Murchan dan Shiel (2017) menekankan bahwa hasil asesmen bukan hanya sekedar hasil siswa tetapi juga informasi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dan merencanakan pembelajaran. Selain itu, mereka juga menjelaskan bahwa asesmen perlu melibatkan pemangku kepentingan sebagai proses kolaboratif untuk menghasilkan asesmen yang bermakna (Murchan & Shiel, 2017). Dari buku ini, kita akan mempelajari tentang bagaimana peran asesmen dalam pembelajaran, keselarasan antara tujuan dan asesmen, prinsip-prinsip dalam asesmen, dan mengenali siapa saja para pemangku kepentingan yang membutuhkan informasi hasil asesmen.

1. Peran asesmen dalam pembelajaran
Asesmen memiliki peran yang mutifaset karena asesmen berperan di ruang kelas dan juga sebagai pemasok informasi. Peran utamanya memang ada di ruang kelas untuk digunakan guru dalam memonitor perkembangan hingga kesulitan yang dialami siswa, dan ini dilakukan secara berkelanjutan hingga perkembangan siswa terlihat. Saat ini, peran asesmen tidak hanya sebagai assessment of learning (asesmen periodik) namun sudah beralih ke assessment for learning (asesmen rutin). Assessment for learning diimplementasikan dalam pembelajaran sehari-hari bertujuan untuk pemantauan secara rutin dan dapat memberikan tindakan atau umpan balik sesegera mungkin oleh guru. Hal ini dilakukan karena siswa membutuhkan informasi mengenai kemajuan belajar mereka sehingga mereka dapat memahami kemampuan mereka dalam belajar. Berdasarkan hal tersebut, pentingnya keselarasan antara tujuan dan asesmen, ini menjelaskan bahwa jika penilaian dilakukan dengan konsisten maka ini dapat membantu guru untuk memonitor belajar dan perkembangan siswa sehingga jika siswa tidak berkembang sesuai dengan tujuan pembelajaran maka guru dapat mengambil langkah korektif.
Dampak yang terjadi jika guru menggunakan assessment for learning atau asesmen rutin adalah siswa dapat mengetahui kemajuan atau kekurangan mereka dalam belajar, siswa dapat mengatur dan menyesuaikan cara mereka belajar, dan siswa dapat memotivasi dirinya dalam belajar. Selain peran di ruang kelas, asesmen berperan sebagai pemasok informasi bagi pengguna informasi hasil asesmen. Informasi ini berguna untuk guru dalam merencanakan pembelajaran di masa yang akan datang, dan berguna untuk pihak lain yang berkepentingan untuk menggunakan hasil asesmen siswa. 
Jika merujuk pada bukunya Murchan dan Shiel (2017), mereka menjelaskan bahwa asesmen tidak hanya datang dari guru saja melainkan ini adalah aktivitas kolaboratif sehingga dibutuhkan peran penting lain untuk ambil bagian dalam proses asesmen. Sebagaimana mereka mengatakan bahwa manusia itu kompleks sehingga membutuhkan kolaborasi lintas peran untuk mendapatkan hasil asesmen yang adil dan menjangkau seluruhnya (Murchan & Shiel, 2017).

Diskusi: Setelah membaca paragraf akhir, saya berpikir bahwa asesmen kolaboratif ini bagus tetapi ini memiliki tantangan yang berat. Saya memiliki pertanyaan, bagaimana kita bisa mengumpulkan berbagai perspektif dan asesmen dari pemangku kepentingan untuk dikumpulkan menjadi satu asesmen yang adil? lalu bagaimana subjektivitas asesmennya?.
Jika melihat konteks sekolah di Indonesia, sepertinya bentuk asesmen kolaboratif ini jarang terjadi kecuali jenjang SMK (hasil dari praktik kerja lapangan) atau bahkan mungkin pemahaman ini belum sampai ke seluruh pendidik. Pertanyaan selanjutnya, apakah asesmen kolaboratif ini efektif diimplementasikan dalam konteks pendidikan di Indonesia? hmm sepertinya butuh penelitian lebih lanjut untuk tau jawabannya ya.

2. Prinsip-prinsip dalam asesmen 
Asesmen secara umum dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran siswa dan mengetahui apa saja yang telah dipelajari siswa (Murchan & Shiel, 2017), dan memahami kesulitan yang dialami siswa. Sedangkan berdasarkan tujuannya, asesmen terdiri dari diagnostik, formatif, dan sumatif (pembahasan lengkap ketiga asesmen ini ada di postingan sebelumnya). Berdasarkan hal tersebut, pentingnya keselarasan antara tujuan dan asesmen. ini menjelaskan bahwa jika penilaian dilakukan dengan konsisten maka ini dapat membantu guru untuk memonitor belajar dan perkembangan siswa sehingga jika siswa tidak berkembang sesuai dengan tujuan pembelajaran maka guru dapat mengambil langkah korektif.
Selain itu, Murchan dan Shiel (2017) menjelaskan terdapat 8 prinsip yang menuntun konseptualisasi, pengembangan, dan pelaksanaan asesmen, yaitu:
1. Asesmen harus mendukung dan mencerminkan konseptualisasi belajar. Maksudnya adalah asesmen perlu menggambarkan bagaimana pembelajaran yang seharusnya sesuai dengan siswa untuk mencapai hasil yang maksimal
2. Tujuan asesmen itu beragam, ada yang tujuannya langsung untuk siswa dan guru, ada juga untuk pemangku kepentingan lain
3. Fundamental asesmen adalah untuk mendukung pertumbuhan siswa dan masyarakat sehingga dibutuhkan sistem pengawasan, kebijakan, prosedur dan praktik yang etis dan adil
4. Kompleksitas manusia menjadikan asesmen memerlukan berbagai peran untuk menciptakan asesmen yang realistis
5. Implementasi asesmen berbasis teknologi digital harus sejalan dengan transformasi digital di pembelajaran
6. Sistem pendidikan mempelajari berbagai bidang namun tetap memprioritaskan area spesifik seperti literasi, numerasi, dan science. Hal ini membutuhkan keseimbangan dalam apa dan bagaimana melakukan asesmen
7. Pendekatan dan alat asesmen terus berkembang sehingga dibutuhkan orang yang kompeten terutama guru untuk mendapatkan hasil asesmen yang akurat
8. Asesmen dapat digunakan sebagai bukti karena asesmen berfungsi sebagai penyuplai informasi untuk kebijakan dan praktik berbasis bukti.

3. Siapa saja pemangku kepentingan yang membutuhkan informasi hasil asesmen
Secara umum, kita memahami bahwa pengguna hasil asesmen adalah guru, siswa, dan orang tua. Dalam bukunya, Murchan dan Shiel (2017) menjelaskan bahwa terdapat pemangku kepentingan lain yang memerlukan informasi tentang hasil asesmen siswa. Adapun pengguna dan tujuannya menggunakan hasil asesmen adalah:
1. Untuk mendukung pembelajaran: guru, siswa, orang tua, sekolah, dan layanan dukungan siswa (psikolog)
2. Untuk penjaminan mutu: dinas pendidikan (otoritas lokal), pembuat kebijakan, kementerian pendidikan, dan masyarakat
3. Untuk pengembang kebijakan: pembuat kebijakan, peneliti, dan wakil rakyat
4. Untuk seleksi dan lainnya: perguruan tinggi, pemberi kerja, pengembang tes, dan penerbit

Berdasarkan pembahasan ini, Murchan dan Shiel (2017) merekomendasikan untuk membaca bacaan lebih lanjut pada artikelnya Newton (2007) untuk memperjelas tujuan asesmen pada tiga level yakni penilaian, keputusan, dan dampak, serta memetakan peran guru dalam proses asesmen. Newton (2007) memperjelas bahwa keselarasan antara tujuan dan asesmen sangat krusial sebab ini dapat memastikan penilaian tepat, keputusan yang akurat, dan dampak yang positif pada motivasi belajar siswa dan kualitas pembelajaran.

Referensi
Murchan, D., & Shiel, G. (2017). Assessment in education. In Understanding and Applying Assessment in Education. United Kingdom: SAGE Publications. pp 1-12.
Newton, P. E. (2007). Clarifying the purposes of educational assessment. Assessment in education, 14(2), 149-170.

9/01/2025

Pentingnya asesmen dalam pembelajaran: Teknik asesmen modern

Dalam tulisan kali ini, kita akan membahas tentang pentingnya asesmen dalam pembelajaran. Bacaan kali ini sangat cocok dibaca oleh para pendidik di setiap jenjang pendidikan dan instruktur pelatihan. Ada tiga hal kunci dalam pembahasan kali ini:

1. Memahami asesmen, mendefinisikan asesmen dan pentingnya dalam pembelajaran

2. Historis asesmen, meninjau sejarah singkat praktik asesmen pendidikan dan membahas teknik asesmen modern

3. Implementasi asesmen, mengkaji pengalaman penulis sebagai pendidik terkait asesmen 

Pada pembahasan kali ini, kita menggunakan buku Green dan Johnson (2009) chapter 1 yang berjudul  "Why is assessment essential?". Sesuai dengan judul chapter-nya, ini menjadi fokus pertanyaan dalam pembahasan kali ini. Sebelum memulai pembahasan, saya ingin bertanya, "apa arti asesmen bagi anda?". 

Dari chapter ini, kita akan membahas tentang asesmen serta perbedaan mendasar antara tujuan kinerja (performance goals) dan tujuan penguasaan (mastery goals) dalam konteks pendidikan. Selain itu, kita juga akan mengkaji histori praktik asesmen dalam pembelajaran, dan bagaimana model asesmen modern mendukung keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar dan berkembang.


Pentingnya asesmen dalam pembelajaran

Dalam bukunya, Green dan Johnson (2019) menjelaskan bahwa asesmen bukan hanya nilai dari hasil tes tetapi sebagai alat instruksional yang digunakan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, menumbuhkan kemandirian, dan melatih siswa untuk berpikir kritis. Lebih spesifiknya, asesmen itu seperti rangkaian yang saling terkait terutama digunakan untuk mengetahui apa yang siswa pahami dan lakukan sebelum pembelajaran, selama proses pembelajaran, dan setelah pembelajaran selesai. 

Key point: guru perlu benar-benar memahami asesmen sebab asesmen yang baik adalah penilaian yang melihat secara keseluruhan kondisi siswa dari sebelum hingga pembelajaran selesai.

Green dan Johnson (2019) menekankan bahwa asesmen yang baik dapat mengarah pada pembentukan nilai-nilai demokrasi seperti kesetaraan dalam kesempatan belajar dan mendorong siswa untuk berpikir kritis. Mari kita bahas kedua hal ini.

1. Kesetaraan dalam kesempatan belajar

Akses yang setara ke kesempatan belajar penekanannya bukan hanya pada "semua siswa telah menyelesaikan tugasnya" kemudian mereka diberi nilai, tetapi penekanannya pada "kepekaan pada kebutuhan siswa". Kita tahu bahwa kesenjangan pencapaian (achievement gap) itu ada sejak awal siswa memulai sekolah. Kesenjangan ini dapat berasal dari faktor sosial-ekonomi dan latar belakang siswa. Kesenjangan yang sumbernya dari siswa memang menjadi tantangan tersendiri dan mungkin sulit untuk diubah. Namun, dengan asesmen yang baik, bukan tidak mungkin guru dapat memaksimalkan pembelajaran melalui asesmen yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

Key point: Penting untuk guru melakukan asesmen yang peka terhadap kebutuhan siswa. Melakukan asesmen sesuai dengan kebutuhan siswa memang lah tidak mudah, namun ini sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai pendidik untuk memberikan yang terbaik agar siswa dapat termotivasi untuk belajar dan berkembang. Semangaat buat para guru ^^

2. Membantu siswa berpikir kritis

Jika asesmen hanya terpaku pada pengujian definisi maka siswa hanya belajar tentang apa yang ada di tes saja sehingga keterampilan berpikir kritis mereka tidak terbangun. Yang seharusnya guru lakukan adalah merancang soal yang dapat mendorong siswa untuk memiliki keterampilan berpikir kritis seperti soal-soal yang mengarah pada analisis, penalaran, dan pengambilan keputusan. 


Sejarah singkat praktik asesmen pendidikan dan teknik asesmen modern

Praktik asesmen pendidikan

Berdasarkan historisnya, asesmen model lama dikenal dengan model "sorting" yakni mengelompokkan atau membedakan siswa yang cerdas dan yang tidak sehingga model ini mengarah pada tujuan kinerja (performance goals). Model ini berfokus pada siswa yang pintar, perbandingan sosial, dan adanya keyakinan bahwa kemampuan siswa itu tidak bisa diubah/fixed. Sedangkan untuk model modern saat ini, model asesmen yang direkomendasikan yakni mengarah pada tujuan penguasaan (mastery goals). Model ini mengarahkan siswa untuk memiliki pemahaman, perkembangan diri, dan kepercayaan bahwa kemampuan dapat ditingkatkan.

Berdasarkan kedua model tersebut, perbedaan asesmen akan menghasilkan perbedaan pada hasil siswa. Performance goals akan menghasilkan siswa dengan ciri-ciri seperti memiliki kognitif yang rendah, cepat menyerah, dan membandingkan diri dengan orang lain. Sedangkan mastery goals memiliki ciri-ciri siswa seperti siswa akan fokus pada kemajuan dirinya, mampu berpikir kritis, dan mampu menghadapi tantangan.

Dilihat dari tujuannya, terdapat tiga tujuan utama melakukan asesmen dalam pembelajaran yakni asesmen diagnostik (diagnostic assessment), asesmen formatif (formative assessment), dan asesmen sumatif (summative assessment).

1. Asesmen diagnostik (diagnostic assessment)

Asesmen diagnostik dilakukan untuk melihat kebutuhan dan minat siswa, serta menjadi landasan diferensiasi yang adil bagi siswa. Dalam asesmen ini, guru dapat melakukan identifikasi kebutuhan siswa melalui beberapa pertanyaan atau angket. Asesmen ini biasanya dilakukan di awal atau permulaan pembelajaran seperti di minggu pertama kelas tetapi asesmen ini juga dapat dilakukan di situasi yang dibutuhkan.

2. Asesmen formatif (formative assessment)

Asesmen ini dilakukan saat pembelajaran berlangsung yang bertujuan untuk memonitor dan memberikan umpan balik untuk siswa. Asesmen ini dapat dilakukan dengan cara observasi kelas, menggunakan quiz formatif, dan memberikan pekerjaan rumah untuk membantu siswa memahami materi pembelajaran lebih dalam sebelum dinilai sumatif.

Key point: quiz formatif adalah kuis yang bertujuan untuk memantau perkembangan siswa sehingga jika ditemukan kelemahan siswa dalam proses pembelajaran maka guru dapat memberikan umpan balik yang membangun.

3. Asesmen sumatif (summative assessment)

Asesmen ini dilakukan di akhir priode pembelajaran seperti akhir semester atau akhir tahun yang bertujuan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran secara keseluruhan. Asesmen ini biasanya terstruktur, dapat berupa portofolio, proyek akhir, demonstrasi keterampilan, ujian lisan, dan tes tertulis.

Dalam melakukan asesmen, terdapat dua etika asesmen yang perlu diperhatikan yakni jangan menyakiti (do no harm) dan hindari polusi skor (avoid score pollution).

1. Jangan menyakiti (do no harm)

Salah satu etika melakukan asesmen pembelajaran adalah tidak boleh menyakiti siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan menghindari praktik yang dapat melukai perasaan siswa dan menghilangkan kepercayaan diri siswa. Contohnya seperti memberikan soal yang tidak sesuai dengan yang diajarkan atau membagikan nilai jelek siswa di depan kelas.

2. Hindari polusi skor (avoid score pollution)

Etika dalam asesmen juga perlu untuk menghindari polusi skor yakni menilai secara subjektif, memberikan nilai diluar dari faktor akademik, dan mengurangi skor karena bias personal.

Teknik asesmen modern

Saat ini, teknik asesmen pendidikan diarahkan untuk tujuan penguasaan (mastery goals).  Untuk dapat menumbuhkan mastery goals melalui asesmen dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti; 1) tugas yang beragam, bermakna, dan menantang; 2) menumbuhkan partisipasi siswa dalam pengambilan keputusan; dan 3) fokus pada kemajuan siswa dari waktu ke waktu.

1. Tugas yang beragam, bermakna, dan menantang

Pemberian tugas yang beragam dan bermakna maksudnya adalah memberikan tugas yang relevan dengan kehidupan dan minat siswa. Sedangkan tugas yang menantang adalah tugas yang dapat mendorong siswa berpikir kritis sehingga mengarah pada orientasi tujuan penguasaan (mastery goals).

2. Partisipasi siswa dalam pengambilan keputusan

Partisipasi siswa dapat berupa pelibatan siswa dalam merancang rubrik pembelajaran, penilaian diri siswa, dan penilaian sejawat.

3. Kemajuan siswa dari waktu ke waktu

Untuk melihat kemajuan siswa, dapat menggunakan asesmen dengan cara melihat grafik progres, menanamkan optimisme pada siswa, umpan balik, dan menormalisasikan kesalahan dalam belajar sebagai bagian pembelajaran.


Pengalaman penulis terkait asesmen

Berdasarkan bacaan ini, ada tiga hal kunci yang saya soroti. Pertama, perbedaan antara performance goals dan mastery goals serta dampak yang ditimbulkan pada motivasi belajar siswa. Sering kali cara traditional seperti ranking nilai membentuk asumsi bahwa tugas itu bentuk menghakimi siapa yang pintar dan tidak sehingga mengarah pada performance goals. Hal ini mengakibatkan siswa yang tidak di posisi puncak merasa tidak baik dalam belajar bahkan menarik diri dari keterlibatan proses belajar. Sebaliknya, mastery goals lebih menekankan pada pemahaman dan kemampuan siswa sebenarnya dapat ditingkatkan. Menurut saya, dengan mengganti "performance" menjadi "mastery", kita dapat melihat potensi siswa melalui tugas bermakna, partisipasi siswa, umpan balik, dan kesempatan memperbaiki. Terutama pada poin kesempatan memperbaiki, ini menjadi hal yang penting karena bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa sehingga tidak merasa tertinggal jika terdapat kesalahan. Ini sebagaimana pengalaman saya mengajar di perguruan tinggi, dengan karakteristik mahasiswa yang beragam sehingga kesempatan memperbaiki ini dapat memfasilitasi mahasiswa yang membutuhkan pemahaman dengan beberapa kali evaluasi. Hasilnya, mahasiswa yang sebelumnya "tidak terlihat" mulai berani terlibat dan menunjukkan kemajuan belajarnya. 

Kedua, strategi kunci untuk menumbuhkan mastery goals adalah tugas yang beragam-bermakna-menantang, partisipasi siswa, dan progres siswa. Menurut saya, ketiga hal tersebut penting, terutama poin partisipasi siswa. Dalam pembelajaran yang saya lakukan, penilaian belajar tidak hanya datang dari saya tetapi juga berasal dari penilaian sejawat antar mahasiswa sehingga saya memiliki penilaian yang lebih holistik. 

Ketiga, hal penting lainnya adalah siklus asesmen diagnostik-formatif-sumatif yang jelas dan menghindari score pollution untuk menjaga integritas penilaian. Berdasarkan pengalaman saya dan saat saya menulis ini, saya ternyata lebih fokus pada asesmen formatif dan sumatif. Dengan demikain, kedepan, saya akan menekankan siklus asesmen yang lebih jelas terutama penekanan pada asesmen diagnostik untuk melihat pengetahuan dan kebutuhan mahasiswa. Ini dilakukan untuk merancang diferensiasi sesuai kebutuhan mahasiswa.


Referensi

Green, S., & Johnson, R. L. (2009). Why is assessment essential? In Assessment is Essential. United Kingdom: McGraw-Hill Education, pp. 9 - 37.

2/17/2025

Dinamika pembentukan kebijakan: Dari pengaturan agenda, analisis kebijakan hingga aktor kunci

Dalam tulisan kali ini, kita akan membahas bagaimana proses pembentukan kebijakan publik. Untuk dapat membentuk sebuah kebijakan diperlukan berbagai faktor penentu dan faktor ini saling berkaitan satu sama lain. Pada pembahasan kali ini, kita menggunakan tiga referensi diantarnya karya David R. Garcia chapter 2 tentang "Who sets policy?" (Garcia, 2022, pp. 32-48), John Kingdon chapter 1 tentang "How does an idea's time comes?" (Kingdon, 2011, pp. 1-20), dan William N. Dunn chapter 2 tentang "Policy analysis in the policymaking process" (Dunn, 2017, pp. 30-58). Ketiga artikel ini memiliki hubungan satu sama lain yang memberikan gambaran tentang bagaimana proses pembuatan kebijakan. Terutama pernahkah kita berpikir, bagaimana kira-kira sebuah isu atau beberapa isu muncul dalam agenda kebijakan?, lalu bagaimana bentuk analisis kebijakan yang digunakan untuk menyusun sebuah kebijakan dan mengimplementasikan keputusan tersebut?, kemudian siapa saja aktor kunci dalam menyusun sebuah kebijakan?. Oke pembahasan kita dalam tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.


1. Pengaturan agenda dan kebijakan publik

Jika kita mengkaji bukunya Kingdon (2011, pp. 1-20) pada chapter 1 tentang "How does an idea's time comes?", chapter ini menjelaskan tentang bagaimana Kingdon memperkenalkan ide mengenai “ide yang tepat pada waktunya (the right idea at the right time)” dalam konteks kebijakan publik. Maksud dari ide ini adalah ada sebuah masa atau momen ketika beberapa faktor seperti opini publik, perubahan sosial, dan mobilisasi aktor politik, membentuk sebuah isu yang kemudian menarik perhatian pemerintah. Isu yang muncul ini kemudian dipertimbangkan untuk masuk dalam proses pengaturan agenda, proses ini dilakukan untuk menentukan isu mana yang menjadi fokus pembahasan dan mendapatkan perhatian oleh pemerintah (Kingdon, 2011). Sebagaimana Kingdon (2011) menyatakan bahwa proses pengaturan agenda ini dilakukan sebagai bentuk untuk memilih isu-isu mana yang dianggap penting, terutama isu yang mendapatkan perhatian banyak masyarakat sehingga isu ini masuk ke dalam isu prioritas yang kemudian digunakan untuk menyusun sebuah kebijakan. 

Adapun proses pembuatan kebijakan publik terdiri dari empat tahapan (Kingdon, 2011):

a. Penetapan agenda

Agenda didefinisikan sebagai daftar isu atau permasalahan yang menjadi perhatian serius oleh pemerintah dan masyarakat. Tahap ini digunakan untuk melakukan identifikasi dan memilih isu-isu mana yang akan menjadi fokus pemerintah.

b. Spesifikasi alternatif yang akan dipilih

Tahap kedua ini dilakukan untuk memilih dan mengembangkan alternatif. Alternatif disini dapat berupa tindakan atau solusi yang digunakan untuk menangani isu yang telah dipilih. Proses dalam tahap ini biasanya berbentuk diskusi yang dilakukan oleh para ahli, politisi, dan pemangku kepentingan.

c. Pilihan alternatif yang telah ditentukan

Setelah menentukan berbagai alternatif selanjutnya alternatif-alternatif tersebut akan disiapkan untuk dilakukan pemungutan suara melalui proses formal. Hal ini dilakukan untuk memutuskan alternatif mana yang diambil untuk diadopsi menjadi sebuah kebijakan.

d. Implementasi keputusan

Tahap terakhir menjadi bentuk implementasi dari keputusan yang telah disetujui. Bentuk implementasi disini dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang dibuat, termasuk juga alokasi dana, program, dan kegiatan sebagai bentuk nyata implementasi kebijakan tersebut. Tahap ini menjadi tahap yang sangat penting karena efektif tidaknya kebijakan yang dibuat, dilihat dari bentuk implementasinya apakah dapat berfungsi dengan baik dalam praktiknya.

Setelah kita telah memahami bentuk dari proses pembuatan kebijakan publik, jika diperhatikan pada poin pertama, ada penetapan agenda, pertanyaannya adalah bagaimana proses penetapan agenda?, bagaimana isu dapat masuk dalam penetapan agenda?. Oke selanjutnya kita akan membahas proses dalam menetapkan agenda.

Berikut ini tiga proses yang mempengaruhi bagaimana isu dapat masuk ke dalam agenda (Kingdon, 2011):

a. Masalah

Proses ini dilakukan untuk mengenali masalah kemudian masalah tersebut didefinisikan untuk masuk sebagai kebutuhan yang akan digunakan oleh pemerintah. Masalah yang menjadi prioritas sering kali merupakan kejadian penting dan sedang menjadi perhatian banyak orang.

b. Kebijakan

Proses ini merupakan proses yang berisi pengembangan berbagai pilihan kebijakan yang dapat digunakan untuk menangani masalah yang ada.

c. Politik

Proses ini dapat berupa situasi nasional, pergantian administrasi, dan hasil pemilihan yang dapat mempengaruhi agenda.


2. Analisis kebijakan dalam proses pembuatan kebijakan

Dalam bukunya Dunn (2017, pp. 30-58), chapter 2 membahas analisis kebijakan dan bagaimana evolusi awal tentang analisis kebijakan. Ini memperlihatkan bahwa sudah ada upaya sejak zaman kuno untuk mengatur dan memahami masyarakatnya melalui pengetahuan yang terorganisir. Dunn (2017) mendefinisikan analisis kebijakan bukan hanya sebagai proses pemecahan masalah namun juga sebagai teknik kuantitatif yang dapat digunakan untuk menganalisis hasil kebijakan. Dalam kepemerintahan, analisis kebijakan dibutuhkan untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah yang didapatkan melalui penelitian dan berbasis bukti empiris (Dunn, 2017). Pada zaman kuno seperti di Mesopotamia yang sekarang dikenal dengan Republik Irak, pembuatan kebijakan pada masa itu menggunakan hukum Hammurabi. Hukum ini dibuat oleh Raja Hammurabi yang digunakan untuk mengatur masyarakat yang kompleks sehingga membutuhkan pengetahuan kebijakan untuk mengelola masyarakat pada masa itu. Dengan begitu, tujuan dilakukannya analisis kebijakan adalah untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan sehingga dapat menyediakan pengetahuan yang relevan bagi pembuat kebijakan. 


Gambar 1. Proses pembuatan kebijakan


Dunn (2017) menggambarkan proses pembuatan kebijakan (Gambar 1) terdiri dari berberapa fase yang saling berkaitan sebagai berikut:

a. Pengaturan agenda (agenda setting)

Fase ini dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang perlu ditangani.

b. Formulasi kebijakan (policy formulation)

Fase ini dilakukan untuk mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang telah ditentukan.

c. Adopsi kebijakan (policy adoption)

Fase ini merupakan fase untuk menentukan salah satu alternatif kebijakan yang telah ditentukan oleh pemangku kepentingan.

d. Implementasi kebijakan (policy implementation)

Pada fase ini, kebijakan yang telah disahkan kemudian diimplementasikan secara luas.

e. Penilaian kebijakan (policy assessment)

Fase ini merupakan fase untuk menilai efektivitas kebijakan yang telah diimplementasikan, untuk memastikan apakah telah mencapai tujuan yang telah ditentukan.

f. Adaptasi kebijakan (policy adaptation)

Fase terakhir ini digunakan sebagai bentuk evaluasi dari kebijakan, dalam hal ini dapat berupa adaptasi atau perubahan kebijakan berdasarkan dari hasil evaluasi.

Dunn (2017) mengatakan bahwa setiap fase pada proses pembuatan kebijakan (Gambar 1) melibatkan berbagai aktor yang saling berinteraksi diantaranya pemerintah, masyarakat, dan organisasi. Dunn (2017) juga menjelaskan bahwa terkadang fase-fase ini tidak selalu berurutan sehingga setiap fase dapat berinteraksi dengan fase manapun dan hasil dari setiap fase dapat mempengaruhi fase yang lain.



Gambar 2. Metode dan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan


Dunn (2017) menyatakan bahwa analisis kebijakan menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembuatan kebijakan, hal ini menjadikan pengambil kebijakan yakin bahwa menghasilkan pengetahuan yang relevan terhadap kebijakan dapat membentuk kebijakan yang baik. Dunn (2017) menjelaskan penggunaan metode dan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (Gambar 2) meliputi:

a. Struktur masalah (problem structuring)

Metode ini berfungsi untuk melakukan identifikasi asumsi yang menjadi dasar dari masalah.

b. Prakiraan (forecasting)

Metode ini merupakan metode untuk membantu dalam meramalkan hasil yang didapatkan dari kebijakan yang diajukan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui konsekuensi dan membantu memahami keterbatasan kebijakan.

c. Preskripsi (prescription)

Pada metode ini, hal yang dilakukan adalah dengan membuat rekomendasi kebijakan mana yang akan diadopsi. Dalam metode ini juga, value dan biaya yang muncul dapat dinilai melalui alternatif kebijakan.

d. Pemantauan (monitoring)

Metode ini digunakan untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan dan mengevaluasi efektifitas kebijakan yang diimplementasikan apakah sudah sesuai dengan tujuan.

e. Evaluasi (evaluation)

Metode terakhir ini dilakukan untuk menilai hasil yang didapatkan dari kebijakan yang telah diterapkan.


3. Peran politisi dan staf profesional dalam pembentukan kebijakan

Beralih pada bukunya Garcia pada chapter 2 tentang "who sets policy?", disini kita akan membahas tentang siapa saja yang berperan dalam membuat kebijakan dan bagaimana perannya (Garcia, 2022, pp. 32-48). Dalam pembentukan kebijakan, Garcia (2022) menjelaskan ada dua aktor yang berperan penting yaitu politisi dan staf profesional. Garcia (2022) lebih lanjut mengatakan bahwa politisi merupakan pejabat terpilih (misalnya DPR, gubernur, menteri, presiden) yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dan diterapkan dalam pemerintahan, sedangkan staf profesional adalah orang yang mendukung dan membantu dalam membentuk kebijakan sebab staf profesional biasanya merupakan ahli yang memiliki latar belakang akademis dan pengetahuan tentang penelitian dan ahli di bidangnya. 

Peran politisi dan staf profesional juga berbeda, politisi lebih fokus pada isu-isu yang menarik perhatian masyarakat dan memiliki kewenangan untuk memasukkan masalah ke dalam agenda kebijakan. Sedangkan staf profesional memiliki peran sebagai penghasil informasi yang kredibel karena memiliki pengetahuan lebih tentang bidangnya, namun mereka memiliki kewenangan terbatas karena harus bertindak sesuai dengan arahan politisi.

Dalam bukunya, Garcia (2022) menyatakan bahwa politisi dan staf profesional memiliki peran penting dan saling melengkapi. Garcia (2022) menjelaskan lebih lanjut bahwa politisi dan staf profesional memiliki latar belakang pengetahuan yang berbeda, maka dari itu mereka perlu saling bekerjasama untuk membentuk kebijakan dan masing-masing dari mereka memiliki peran penting dalam menjalankan fungsinya sebagai pembuat kebijakan. 


Analisis ketiga artikel beserta contoh kasus di Indonesia

Jika dilihat, ketiga artikel yang telah kita kaji memiliki keterkaitan satu sama lain dengan memberikan gambaran tentang dinamika pembentukan kebijakan. Ketiga artikel saling melengkapi dengan menjelaskan pentingnya pengaturan agenda (Kingdon, 2011), analisis kebijakan (Dunn, 2017), dan peran aktor yang membentuk kebijakan (Garcia, 2022). 

Dari kajiannya Kingdon (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan agenda kebijakan diantaranya opini publik, perubahan sosial, dan mobilisasi aktor politik. Kingodon (2011) menyoroti bagaimana opini publik berperan dalam mempengaruhi isu prioritas yang dapat menjadi perhatian pemerintah. Apalagi jika banyak orang perduli dan memberikan perhatian lebih terhadap isu tersebut sehingga besar kemungkinan isu tersebut menjadi bagian dari agenda kebijakan.

Saya sangat tertarik dengan artikelnya Kingdon (2011) yang menyatakan bahwa penetapan agenda dapat berasal dari opini publik, apalagi jika opini ini berupa isu yang sedang menjadi perhatian publik. Jika kita pahami, ini berarti, dalam menetapkan agenda, isu yang sedang menjadi keresahan masyarakat sangat mungkin untuk masuk ke dalam penetapan agenda kebijakan. Pertanyaannya, bagaimana realisasinya di lapangan? contoh kondisi Indonesia yang sedang hangat sekarang tentang efisiensi yang disebabkan karena kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), utang negara, dan kebijakan baru lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini diperkuat dengan berita yang dipublikasikan oleh media Kompas (2025) tentang efisiensi anggaran yang digunakan untuk MBG. Selain itu, media Antara (2025) menyebutkan bahwa pemerintah melakukan efisiensi juga dilakukan sebagai bentuk upaya untuk membayarkan utang negara. Pro-kontra datang dari berbagai kalangan masyarakat terutama banyaknya kontra pada implementasi kebijakan MBG yang berdampak negatif pada beberapa kegiatan masyarakat. Jika kita pahami dalam kajiannya Kongdon (2011), jika telah banyak opini dan keresahan yang disampaikan oleh masyarakat yang kemudian ini menjadi isu kontemporer, sudah dapat dipastikan, pembuat kebijakan dapat dengan segera memasukkan isu ini ke dalam penetapan agenda kebijakan.

Memang, dalam implementasi kebijakan seperti halnya implementasi kebijakan MBG, tidak semua kebijakan itu akan berjalan dengan efektif, terkadang dan mungkin lebih sering tidak diterima oleh beberapa kalangan masyarakat jika kebijakan itu tidak pro terhadap masyarakat. Namun, pembuat kebijakan harus memandang ini dengan cermat, jika implementasi kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik, mereka dapat segera melakukan evaluasi kebijakan agar dikemudian hari tidak memberikan dampak yang lebih parah pada masyarakat. Hal ini diperkuat oleh kajian Dunn (2017), yang menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan kebijakan, ada yang namanya fase policy adaptation, fase ini merupakan fase evaluasi kebijakan. Ini berarti jika kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tidak berjalan efektif dan mendatangkan banyak kontra dari masyarakat, pembuat kebijakan dapat segera melakukan evaluasi, dimana Dunn (2017) menekankan evaluasi kebijakan yang tidak berjalan baik dapat berupa adaptasi atau bahkan merubah kebijakan tersebut. Dunn (2017) juga menyatakan bahwa analisis kebijakan diperlukan agar keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah dapat dipertanggungjawabkan. Kembali lagi pada kondisi Indonesia saat ini, jika seluruh kalangan masyarakat lebih banyak kontra pada program pemerintah MBG ini, sebaiknya pemerintah memang mengkaji ulang kebijakan yang ada dan mencari solusi win-win. Bukankah kebijakan yang efektif itu adalah kebijakan yang diterima oleh masyarakat, memberikan manfaat, dan dapat memecahkan permasalahan?. 

Dalam artikelnya, Dunn (2017) juga menekankan bahwa untuk menghasilkan kebijakan yang baik, pembuat kebijakan harus memastikan keputusan yang dibuat berdasarkan penelitian dan berbasis bukti empiris. Ini lah mengapa Garcia (2022) menjelaskan aktor-aktor pembuat kebijakan terdiri dari politikus dan staf profesional, staf profesional disini yang berperan besar dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan bukti empiris sebagai bahan untuk mendukung keputusan yang nantinya diputuskan oleh politisi. Lalu jika melihat pada kebijakan MBG di Indonesia, muncul sebuah pertanyaan dari saya dan mungkin pertanyaan kita sama, apakah pembuat kebijakan MBG ini melakukan penelitian atau riset terlebih dahulu sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis seperti apakah dananya mencukupi?, apakah ini lebih prioritas dari pendidikan atau kesehatan atau bidang prioritas lain?. Pertanyaan lain, apakah pembuat kebijakan MBG ini (politisi dan staf profesional) saling bekerjasama? hmm who knows. Sebab Garcia (2022) menyebutkan bahwa politisi dan staf profesional memiliki peran yang saling berkaitan dalam membentuk kebijakan, walaupun yang memiliki kewenangan besar ada pada politisi namun politisi juga perlu mempertimbangkan hasil riset yang dilakukan oleh staf profesional. Seringnya jika dilihat, politisi hanya mementingkan branding mereka "program ini saya loh yang buat" dan cenderung memaksakan tanpa melihat dampak kedepannya. Padahal Dunn (2017) dan Garcia (2022) menekankan pembentukan kebijakan harus berdasarkan riset dan berbasis data.

Kesimpulannya, hasil analisis ini memperlihatkan bahwa dalam pembentukan kebijakan harus memperhatikan pengaturan agenda yang kompulsif, analisis kebijakan, dan peran aktor kunci. Tujuannya adalah untuk membuat kebijakan yang efektif bagi pemerintah dan masyarakat. Selain itu, politisi dan staf profesional mungkin dapat menjalin hubungan dan bekerjasama dengan para akademisi untuk merancang penelitian yang baik, kemudian hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai bahan penunjang keputusan. Hal ini dilakukan untuk memberikan kebijakan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.


Referensi

Kingdon, J. W. (2011). Agendas, Alternatives, and Public Policies. Pearson.

Dunn, W. N. (2017). Public Policy Analysis: An Integrated Approach. Taylor & Francis Group.

Garcia, D. R. (2022). Teach Truth to Power: How to Engage in Education Policy. MIT Press.

Kompas. (2025).  Efisiensi Anggaran Dipakai untuk MBG dan Danantara, Apa Dampaknya ke Rakyat?. https://www.kompas.id/artikel/efisiensi-anggaran-dipakai-untuk-mbg-dan-danantara-apa-dampaknya-ke-rakyat

Antara. (2025). Efisiensi anggaran dan pengelolaan utang menuju stabilitas ekonomi. https://www.antaranews.com/berita/4649321/efisiensi-anggaran-dan-pengelolaan-utang-menuju-stabilitas-ekonomi#google_vignette


View My Stats