9/08/2025

Identitas pendidik guru: Gambaran Umum

Kali ini kita akan membahas tentang bagaimana gambaran umum identitas pendidik guru. Sebagaimana yang kita tahu, pendidik guru merupakan dosen yang mengajar calon-calon guru di perguruan tinggi. Dalam pembahasan kali ini, kita akan menggunakan empat artikel yang berkaitan dengan identitas guru seperti buku Pinnegar dan Hamilton (2015) chapter 1 yang membahas tentang "definition of identity", artikel Izadinia (2014) yang membahas tentang "teacher educators’ identity", Dinkelman (2011) tentang "Forming a teacher educator identity", dan Swennen et al. (2010) tentang "teacher educators". Kita akan mengulas keempat paper tersebut berdasarkan dari fokus, teori/konsep yang digunakan, temuan, serta kita akan melakukan sintesis untuk mencari benang merah dari keterkaitan artikel-artikel tersebut.

Key concepts

Buku Pinnegar dan Hamilton (2015) berfokus dengan membangun kerangka konseptual identitas pendidik guru. Mereka menyebut kerangka ini sebagai proses dari "being and becoming". Artinya bahwa identitas pendidik guru muncul diantara tindakan dan selalu berubah-ubah yang didasarkan dari agensi individu dalam konteks sosial budaya. Kerangka yang mereka bangun ini menggunakan beberapa teori seperti; 1) Erikson’s theory tentang biopsychosocial bahwa identitas berkembang sepanjang hayat dan asalnya dari faktor biologis, psikologis, dan sosial; 2) Narrative teory, bahwa identitas muncul dalam cerita yang diceritakan sehingga membentuk proses living-telling-retelling-reliving sebagai bentuk "being" yang kemudian mengarah pada "becoming"; 3) Positioning theory, bahwa identitas hadir saat kita memposisikan diri atau pun orang lain melalui perkataan atau tindakan. 

Key point: agensi individu merupakan kapasitas individu dalam mengartikan sesuatu, menarasikan ulang diri, dan bertindak sesuai yang diinginkan, atau bahasa lainnya adalah kemampuan kita dalam menentukan pilihan secara sadar.

Pinnegar dan Hamilton (2015) menyoroti beberapa temuan utama dalam bukunya, sebagai berikut:

1. Identitas pendidik guru selalu berubah melalui tindakan, refleksi, dan relasi. Pengalaman masa lalu dapat direinterpretasi dan ditransformasi ke masa kini atau masa depan

2. Ketegangan pada fase hidup yang berbeda diantara pendidik beririsan dengan kebutuhan kerja sehingga hal ini berdampak pada kemampuan dalam membangun relasi pedagogis yang kolaboratif

3. Teori narrative dan positioning membantu dalam memperlihatkan pola yang tidak terlihat dalam tindakan sehari-hari. Pola-pola ini dapat membantu dalam praktik namun jika ternyata tidak sesuai maka ini memicu untuk berpikir dan bertindak ulang, hal ini menyebabkan terbentuknya transformasi.

Explanation: jika masih ada yang bingung pada poin ke-3, contohnya seperti ini, ada seorang dosen yang mengajar calon guru menggunakan panduan/skrip. Panduan ini membuat aturan umpan balik, namun saat dosen tersebut mendapati mahasiswa yang membutuhkan dukungan emosional, ternyata panduan itu tidak sesuai. Berdasarkan hal ini, dosen tersebut melakukan refleksi dan memposisikan ulang dirinya bukan hanya sebagai pengajar namun sebagai pembimbing/mentor sehingga ia membuat panduan baru dengan menyisipkan umpan balik yang lebih humanis dan dialogis. Dari sini kita paham bahwa praktik awalnya telah berubah kan ya, nah ini lah transformasi yang dimaksudkan.

Dalam artikelnya Swennen et al (2010), mereka berfokus pada pembahasan yang mengulas tentang "siapa pendidik guru", mereka juga mengidentifikasi sub-identitas utama dan bagaimana implikasinya bagi pengembangan profesional pendidik guru menggunakan berbagai teori dan konsep, terutama dari studinya Holland. 

Dari studi ini, Swennen et al (2010) menemukan bahwa terdapat empat sub-identitas pendidik guru yakni:

1. Pendidik guru sebagai guru sekolah. Dalam konteks Amerika, awalnya pendidik guru berasal dari guru sekolah. Hal ini dikarenakan saat rekruitmen, diperlukan pengalaman mengajar sehingga yang memenuhi persyaratan ini adalah guru sekolah.

2. Pendidik guru sebagai dosen di perguruan tinggi. Dalam prosesnya, fase induksi sering dilakukan sebagai pembelajaran berbasis kerja, biasanya didampingi mentor senior.

3. Pendidik guru sebagai guru para guru (second order teacher). Masih dalam konteks Amerika, ada transisi pendidik guru yang awalnya first order teacher (guru yang megajar siswa di sekolah) menjadi second order teacher (guru yang mengajar mahasiswa di perguruan tinggi). Oleh karena itu, pendidik guru ini memerlukan redefinisi identitas agar menghindari kegagalan transisi.

4. Pendidik guru sebagai peneliti. Untuk penguatan identitas peneliti, terdapat tiga jalur yakni belajar dengan melakukan riset (biasanya ada bimbingan dari kolega senior), melanjutkan pendidikan doktoral, dan kebijakan institusi atau nasional yang mendorong untuk melakukan riset.

Izadinia (2014), dalam artikelnya mengulas tentang berbagai studi tentang identitas pendidik. Temuan studinya meliputi:

1. Tantangan saat fase induksi

Tantangan ini diantaranya kekurangan dukungan dan keterampilan dalam melakukan riset sehingga menyebabkan kesulitan untuk membangun identitas sebagai peneliti, kurangnya pemahaman dalam pedagogi perguruan tinggi (seperti asesmen, perkuliahan) yang berujung munculnya keraguan diri, minimnya pengetahuan tentang manajemen organisasi, adanya faktor yang menyebabkan stress (beban ajar tinggi, tuntutan melakukan riset), dan kesulitan membangun koneksi profesional baik dengan kolega atau mahasiswa.

2. Terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan identitas pendidik guru. Pertama, self-support, ini dapat dilakukan dengan belajar dari supervisi harian, refleksi diri, trial-error, dan self-study. Kedua, community-support, ini dapat dilakukan melalui communities of practice, team teaching, dan interaksi sosial. Ketiga, latar belakang bawaan, ini seperti kepercayaan, pengalaman, dan role model.

3. Induksi yang berkualitas perlu memperhatikan hal-hal seperti, harus berfungsi sebagai learning community, sebagai relasi yang suportif dan kolaboratif, ada aktivitas reflektif, dan pentingnya keterlibatan dalam riset.

Dinkelman (2011) melalui artikelnya memaparkan studi ilustratifnya yang berfokus pada bagaimana identitas pendidik guru dibentuk dari konteks institusional, standar, praktik, dan relasi. Kajian ini menggunakan model identitas Gee yakni nature (identitas berdasarkan sifat), institutional (identitas berdasarkan posisi yang dipegang), discursive (identitas berdasarkan apa yang telah dilakukan dan dalam dialog dengan orang lain), dan affinity (identitas berdasarkan kesetiaan pada praktik dan perspektif afiliasi kelompok). 

Dinkelman (2011) dalam studinya menemukan bahwa:

1. Audit culture (akreditasi, data kinerja) dapat mengaburkan dan mengikis makna utama yang ada di praktik. Ini dikarenakan asesmen seringnya hanya menghitung kehadiran bukan membuka ruang dialog.

2. Standar yang paling penting diperhatikan adalah pada praktik sehari-hari, sebab identitas sering terbentuk dalam ruang praktik bukan dalam dokumen standar

3. Identitas dapat tumbuh melalui agensi (kemampuan membentuk identitas dengan pilihan sadar, kolaborasi, dan tindakan resistif-kreatif) dan relasi

Key point: Temuan Dinkelman (2011) ini menginformasikan kita bahwa identitas pendidik guru itu dapat tumbuh melalui agensi dan relasi, dan standar yang difokuskan itu seharusnya dari praktik sehari-hari bukan malah fokus di dokumen dan tabel akreditasi.

Sintesis

Berdasarkan pembahasan terhadap keempat artikel, para penulis setuju bahwa identitas pendidik guru bukan status yang tetap tetapi merupakan proses sosial yang dapat diubah melalui tindakan, refleksi, relasi, terutama agensi individu sebagai faktor utama (Pinnegar & Hamilton, 2015; Izadinia, 2014; Dinkelman, 2011; Swennen et al., 2010). 

Pada struktur identitas pendidik guru, Swennen et al (2010) telah menjelaskan bahwa terdapat empat sub-identitas pendidik guru (sebagai guru sekolah, pengajar di perguruan tinggi, guru dari guru, dan peneliti). Dalam konteksnya, keempat identitas ini perlu diseimbangkan dan ditransformasikan. Sebagaimana hal ini melengkapi kerangka being and becoming dan teori narrative serta positioning sebagai sistem pembentuknya (Pinnegar & Hamilton, 2015).

Dalam pembentukan identitas, penting untuk memperhatikan fase induksi karena fase ini menjadi titik rawan karena didalamnya ada ketegangan yang dapat memicu self-doubt (Izadinia, 2014). Untuk menjaga fase ini berjalan efektif, Pinnegar & Hamilton (2015) dan Dinkelman (2011) merekomendasikan untuk melaksanakan learning communities, refleksi, relasi suportif, dan self-study sebagai upaya menghubungkan mengajar dan meneliti.

Referensi

Dinkelman, T. (2011). Forming a teacher educator identity: Uncertain standards, practice and relationships. Journal of Education for Teaching, 37(3), 309-323.

Izadinia, M. (2014). Teacher educators’ identity: A review of literature. European Journal of Teacher Education, 37(4), 426-441.

Pinnegar, S. E., & Hamilton, M. L. (Eds.). (2015). Identity. In Knowing, becoming, doing as teacher educators: Identity, intimate scholarship, inquiry. Emerald Group Publishing.

Swennen, A., Jones, K., & Volman, M. (2010). Teacher educators: their identities, sub-identities and implications for professional development. Professional Development in Education, 36(1-2), 131-148.


0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya ^^

View My Stats