10/01/2025

Dinamika asesmen kelas dan hak asesmen siswa

Pembahasan kali ini kita akan menggunakan dua artikel dari Shepard (2000) dan Stiggins (2014). Kedua artikel ini saling melengkapi, Shepard (2000) menjelaskan koherensi paradigma (keterkaitan kurikulum, teori belajar, dan asesmen) dan memberikan contoh bentuk asesmen yang dapat diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran. Sedangkan Stiggins (2014) menjelaskan advokasi kebijakan dan etika asesmen, serta memberikan kerangka hak siswa dalam asesmen.

Shepard (2000) menerangkan bahwa asesmen menjadi bagian penting dari pembelajaran untuk mendukung proses pembelajaran, bukan hanya fokus pada pemberian nilai. Ia juga menjelaskan histori pengajaran modern (konstruktivis) terkadang sudah tidak cocok dengan praktik tes tradisional sehingga memerlukan perubahan agar sejalan dengan pedagogi konstruktivis sosial.

Secara historis, abad ke-20 didominasi paradigma seperti efisiensi sosial, behaviourisme menejemen ilmiah, dan pengukuran ilmiah. Hal ini lah yang memisahkan antara "mengajar" dan "menguji". Paradigma-paradigma ini yang mendorong kurikulum terdiferensiasi untuk peran sosial yang berbeda dan mendidik sesuai dengan kemampuan siswa. Bentuk tes didominasi dengan tes objektif dan adanya kepercayaan bahwa tes merupakan bentuk dari proses belajar. Contoh bentuk tesnya adalah aritmatika, bahasa, T/F dan berfokus pada hafalan.

Selanjutnya, paradigma mulai bergeser ke konstruktivis-sosial sehingga pada masa ini terjadi revisi kurikulum dan teori belajar. Penekanannya pada semua siswa bisa belajar (kesetaraan akses belajar), mendorong agar siswa memiliki kemampuan untuk berpikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah, pembelajaran berdasarkan konteks nyata, dan praktik demokratis. Pada masa paradigma ini, belajar difokuskan pada konstruksi mental yang dibentuk dari pengetahuan awal dan budaya, metakognisi, identitas, dan memiliki kemampuan kognitif secara sosial budaya. Implikasinya pada asesmen adalah berkembangnya tugas-tugas menantang yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, penilaian dilakukan selama proses belajar bukan hanya hasil akhir, dan siswa memiliki kesempatan untuk mengevaluasi karyanya sendiri.

Perubahan paradigma ini juga mempengaruhi bentuk asesmen yang harus menyelaraskan dengan standar konten yang bermakna. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai bentuk asesmen diantaranya observasi, wawancara, proyek, jurnal reflektif, self-evaluation, demonstrasi, dan portofolio. Bentuk-bentuk asesmen ini harus disertai dengan analisis bukti oleh guru.

Pada artikel kedua, Stiggins (2014), ia menjelaskan bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang memiliki literasi asesmen. Maksudnya adalah sekolah yang memahami pronsip dari asesmen yang baik dan menggunakannya untuk mendukung dan meningkatkan perkembangan kemampuan siswa. Hambatan terbesar untuk merealisasikan ini adalah masih adanya keyakinan dan kebijakan yang keliru tentang tes yang memisahkan antara "yang mengajar" dan "yang menguji". Kekeliruan tentang tes ini berdampak pada kepercayaan bahwa skor tes standar menjadi satu-satunya bukti sah bahwa siswa belajar dan menyampingkan bukti belajar lainnya yang dianggap tidak dipercaya. Hal ini menyebabkan kesempatan guru pada literasi asesmen guru.

Stiggins (2014) memberikan rekomendasi yang dapat diimplementasikan yaitu:

1. Sekolah dituntut untuk dapat menaikan capaian dan memastikan kompetensi pambelajar sepanjang hayat. Asesmen perlu melayani dua tujuan yang berbeda, pertama sebagai alat instruksional untuk meningkatkan belajar, dan kedua sebagai alat sertifikasi untuk akuntabilitas. Kedua tujuan ini berbeda sehingga sekolah perlu membagi fokus pada keduanya.

2. Perlunya bukti dari asesmen karena keputusan asesmen memerlukan bukti yang andal. Permasalahan yang banyak dihadapi adalah masih minimnya pimpinan sekolah atau guru yang dilatih unruk mengembangkan asesmen berkualitas.

3. Penting untuk memberikan siswa ruang dalam menginterpretasikan hasil asesmen mereka karena hal ini dapat membentuk efikasi akademik siswa.

4. Perlunya untuk memberikan hak asesmen siswa (Student’s Bill of Assessment Rights). Hak ini terdiri dari hak mengetahui tujuan setiap asesmen (bagaimana dan siapa yang menggunakan hasil asesmen), hak memahami target belajar, hak memahami perbedaan performa baik dan buruk, hak atas asesmen yang handal, dan hak atas komunikasi yang efektif.

Berdasarkan kedua bacaan Shepard (2000) dan Stiggins (2014), mereka sepakat menolak nilai akhir sebagai bentuk akuntabilitas dan kualitas belajar siswa. Merekan mendorong guru dan sekolah menggunakan asesmen yang terintegrasi dalam pengajaran untuk meningktkan kualitas pembelajaran. Mereka juga menekankan perlunya kebutuhan pengembangan profesional guru agar mampu menjalankan asesmen yang bermakna dan menggunakan hasilnya untuk langkah belajar selanjutnya.

Adapun implikasi praktis yang dapat digunakan di kelas dan sekolah/sistem dari Shepard (2000) dan Stiggins (2014) adalah:

1. Untuk kelas

Lakukan asesmen dari awal proses belajar dan gunakan tugas terbuka, dorong siswa melakukan penilaian diri dan sejawat, dan buat rubrik yang dikonstruksi bersama. Selama proses belajar, terapkan umpan balik berjenjang (hint -> pertanyaan pengarah -> debugging) lalu dikoreksi.

2. Untuk sekolah

Sekolah perlu membedakan antara asesmen untuk mendukung belajar dan asesmen untuk mendukung sertifikasi sekolah. Sekolah juga perlu mengembangkan komunitas untuk membangun litrasi asesmen. Terakhir, sekolah harus memfasilitasi pengembangan profesional guru untuk meningkatkan kompetensi guru dalam mengembangkan asesmen.

Referensi

Shepard, L. A. (2000). The role of assessment in a learning culture. Educational Researcher, 29(7), 4–14. https://doi.org/10.3102/0013189X029007004

Stiggins, R. J. (2014). Improve assessment literacy outside of schools too. Phi Delta Kappan, 96(2), 67–72. https://doi.org/10.1177/0031721714553413

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya ^^

View My Stats