Berbicara tentang pendidik guru atau dosen yang mengajar calon guru, identitas merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan karena hal ini dapat mempengaruhi kualitas pendidik guru. Pembahasan kali ini, kita akan menggunakan dua artikel dari Liao & Maddamsetti (2019) dan Milner (2010) yang membahas tentang apa yang mempengaruhi pengembangan identitas pendidik guru. Walau pun secara spesifik Liao & Maddamsetti (2019) membahas pengembangan identitas pendidik guru transnasional tetapi kerangka konseptualnya terkait identitas pendidik guru dapat kita pelajari dan pahami.
Studi Liao & Maddamsetti (2019) menjelaskan bahwa pendidik guru transnasional dapat menghadapi hambatan bahasa-budaya dan krisis legitimasi dan mengubahnya menjadi sumber daya pedagogis melalui tiga identitas; 1) melegitimasi diri lewat modal transnasional; 2) membayangkan diri sebagai co-learner; 3) mempraktikkan budaya kelas berbasis inkuiri serta solidaritas.
Key point: Pendidik guru transnasional merupakan dosen yang berasal dari negara berbeda dan telah terlibat dalam kegiatan (mengajar) di negara tujuannya.
Liao & Maddamsetti (2019) membangun kerangka konseptual untuk melihat identitas pendidik guru yang terdiri dari tiga identitas sebagai berikut:
1. Identitas relasional atau identitas legitimasi (legitimate identity). Artinya bagaimana pendidik guru diakui sebagai dosen yang sah atau legit. Ini penting untuk pendidik guru transnasional karena pada tahap awal, mereka merasa kurang atau ragu-ragu dalam mengajar karena bahasa yang digunakan adalah bukan bahasa pertama mereka dan mereka memiliki referensi budaya yang berbeda.
2. Imagined identity. Artinya bagaimana gambaran diri yang ideal; tipe pendidik guru seperti apa yang diinginkan, ini menuntun pendidik guru untuk menentukan pilihan dan cara berkembang dari waktu ke waktu. Pada identitas ini terjadi pergeseran yang awalnya dari fokus pada "ahli pengetahuan" kemudian menjadi "co-learner".
3. Practical identity. Artinya praktik nyata yang dilakukan oleh pendidik guru dalam bagaimana merancang, memfasilitasi, dan merefleksikan pengajaran serta melakukan pembimbingan. Awalnya pendidik guru berfokus pada "apa yang diajarkan" kenudian mengarah pada "mengapa dan bagaimana", ini mengarah pada pembangunan budaya kelas berbasis inkuiri dan solidaritas.
Dari kerangka konseptual yang dikembangkan oleh Liao & Maddamsetti (2019), memperlihatkan bahwa pengembangan identitas pendidik guru dipengaruhi dua hal utama yaitu latar belakang (personal backgrounds) dan konteks (institusional, sosial-budaya). Pengembangan identitas pendidik guru ini akan berubah seiringnya waktu hingga mereka menemukan dan yakin pada identitas mereka. Adaptasi awal menjadi pendidik guru pada mulanya mendapatkan tantangan dalam memosisikan diri mereka sebagai dosen yang ingin diakui atau "legit". Tantangan lainnya adalah latar bahasa dan budaya dalam pembentukan identitas pendidik guru. Maka dari itu, Liao & Maddamsetti (2019) menyerukan untuk membangun ekosistem dukungan seperti mentoring, pertemuan tim, dan refleksi untuk memfasilitasi transformasi identitas pendidik guru ini.
Key point: Ketiga identitas ini saling berkaitan satu sama lain dengan dukungan dari dua faktor (latar belakang personal dan konteks). Intinya adalah legitimate merujuk pada "apakah saya diakui sebagai pendidik guru", imagined itu seperti "ingin menjadi apa saya sebagai pendidik guru", dan practical menjawab "apa yang saya lakukan sebagai pendidik guru".
Dalam studi lainnya, Milner (2010), memaparkan pengalaman pribadinya dalam bentuk narasi tentang ras untuk mempengaruhi keputusan kurikulum dan pedagoginya dalam pendidikan guru. Landasan teori yang digunakan dalam narasinya ini meliputi:
1. Ras dapat mempengaruhi bagaimana cara kita dalam memandang karena ras bersifat sosial dan legal-kultural.
2. Self-study dalam pendidikan guru penting dilakukan karena dapat membantu pendidik guru (dosen) dalam memahami calon guru yang diajarnya sehingga ini dapat mempengaruhi praktik pengajaran mereka di kelas.
3. Narasi dalam pendidikan guru bertujuan untuk meningkatkan cara calon guru berpikir dan bertindak sebab pengalaman hidup merupakan sumber pengetahuan pedagogis yang kuat.
4. Berikan pemahaman bahwa guru merupakan "kurikulum" sehingga apa yang guru katakan dan lakukan dapat menjadi sumber belajar bagi siswa, sebab kurikulum itu bukan hanya terdiri dari dokumen saja tetapi juga aksi.
5. Kurikulum terdiri dari tiga bentuk, ekplisit (tertulis), implisit (tidak tertulis), dan null (yang tidak diajarkan).
Dari studi Milner (2010) terdapat implikasi praktis yang baik untuk pengembangan pendidikan guru, sebagai berikut:
1. Narasi dapat digunakan oleh dosen dan mahasiswa (calon guru) sebagai bagian dari kurikulum. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengundang mahasiswa untuk menceritakan pengalamannya yang terkait dengan teori sehingga dapat membangun pengetahuan dan empati.
2. Bangun ruang yang aman untuk mengakui perbedaan yang ada. Ruang ini bertujuan untuk menemukan titik temu melalui dialog sehingga dapat menurunkan resistensi.
3. Ajarkan mahasiswa bahwa guru sebagai pengembang kurikulum, guru dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
4. Ajarkan mahasiswa tentang bentuk kurikulum; ekplisit, implisit, dan null.
5. Dorong mahasiswa untuk melakukan self-study dan praktik di sekolah untuk mengukur apakah pembelajaran sudah efektif mengubah keputusan kurikulum dan pedagogi di sekolah.
Milner (2010) mengungkapkan bahwa narasi dan self-study merupakan alat yang dapat digunakan dalam pendidikan guru untuk menjembatani teori dan pengalaman. Ini digunakan untuk melihat "apa yang tidak terlihat" dalam kurikulum. Berdasarkan hal ini, integrasi narasi dan self-study dalam kurikulum dapat dipertimbangkan dengan desain kurikulum yang cermat.
Key point: Integrasi narasi dan self-study seperti memberikan tempat untuk "menceritakan dan mendengarkan" sehingga kita tidak hanya memahami dunia yang kita tinggali saja, namun kita optimis berjalan ke dunia yang kita inginkan.
Berdasarkan kedua paper, Liao & Maddamsetti (2019) dan Milner (2010), memaparkan bahwa pengalaman hidup pendidik guru dapat dijadikan sumber utama (epistemik dan pedagogi). Kedua paper ini juga menyerukan untuk menguatkan peran komunitas, Liao & Maddamsetti (2019) menekankan pentingnya mentoring dan refleksi untuk membantu dalam pengenbangan identitas pendidik guru. Sedangkan Milner (2010) menekankan pada pemberian ruang dan mendorong refleksi berkelanjutan melalui self-study.
Referensi
Liao, W., & Maddamsetti, J. (2019). Transnationality and Teacher Educator Identity Development: A Collaborative Autoethnographic Study. Action in Teacher Education, 41(4), 287-306.
Milner, H. R. (2010). Race, narrative inquiry, and self-study in curriculum and teacher education. In Culture, curriculum, and identity in education (pp. 181-206). Palgrave Macmillan, New York.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya ^^